
Salah satu alternatif bahan sumber protein adalah bulu ayam. Bulu ayam merupakan limbah dari rumah pemotongan ayam (RPA) dengan jumlah berlimpah dan terus bertambah seiring meningkatnya populasi ayam dan tingkat pemotongan sebagai akibat meningkatnya permintaan daging ayam di pasar.
Protein bulu ayam sebagian besar terdiri atas keratin yang digolongkan ke dalam protein serat. Keratin adalah produk pengerasan jaringan epidermal dari tubuh dan merupakan protein fibrous yang kaya akan sulfur dan banyak terdapat pada rambut, kuku dan bulu (HAUROWITZ, 1984). Protein bulu ayam sebagian besar terdiri atas keratin, yang mengandung 14% sistin disulfida, sehingga protein bulu ayam sulit dicerna oleh enzim proteolitik dalam saluran pencernaan.
Pemanfaatan bulu ayam dalam ransum terlebih dahulu harus diproses karena tanpa diproses kecernaan bulu ayam sangat rendah (5,8%). Metode pemrosesan bulu dikelompokkan menjadi 4, yaitu secara fisik, kimiawi, enzimatis dan mikrobiologis. Pemrosesan dimaksudkan untuk melemahkan atau memutuskan ikatanikatan dalam keratin seperti ikatan disulfida, ikatan ionik, ikatan ester dan ikatan hidrogen. Bulu ayam yang sudah diproses dikenal dengan nama hidrolisat bulu ayam (HBA).
Mengolah Bulu Ayam
Mengolah bulu ayam pada prinsipnya untuk melemahkan atau memutuskan ikatan dalam keratin melalui proses hidrolisis. Berbagai metode pemrosesan telah diteliti untuk meningkatkan kecernaan dari bulu ayam. Diketahui ada empat metode pemrosesan bulu ayam, yaitu secara fisik dengan tekanan dan temperatur tinggi, secara kimiawi dengan asam, basa atau karbonasi dan secara enzimatis serta secara mikrobiologis melalui fermentasi oleh mikroorganisme.Keempat metode pemrosesan bulu ayam sebagai pakan sumber protein disajikan pada Gambar 1.

Bulu ayam yang sudah mengalami hidrolisis dikenal dengan nama hidrolisat bulu ayam (HBA). Keempat metode pemrosesan tersebut menghasilkan kecernaan dan nilai biologis hidrolisat bulu ayam berbeda-beda. ACHMAD (2001) menyatakan bahwa HBA mempunyai kecernaan yang beragam, bergantung cara pemrosesannya. HBA komersial yang diproses dengan NaOH 6% disertai pemanasan tanpa tekanan hanya menghasilkan kecernaan dalam rumen in vitro sebesar 17,9%.
Pemrosesan bulu dengan tekanan dan suhu tinggi telah dilakukan pada skala industri, yaitu dengan tekanan 3 bar, suhu 105°C dan kadar air 40% selama 8 jam. Pemrosesan ini menghasilkan kadar protein bulu ayam sebanyak 76% (ADIATI et al., 2004). Nilai ini berada pada kisaran yang pernah dilaporkan, yakni sebanyak 74 – 92% (HAN dan PARSONS, 1991; PUASTUTI et al., 2004).
Adapun pemrosesan bulu ayam dengan NaOH 6% disertai pemanasan dan tekanan (pressure cooker) meningkatkan kecernaan bahan kering menjadi 64,6%(ACHMAD, 2001). Sebelumnya STEINER et al. (1983) melaporkan hasil pemrosesan bulu ayam dengan tekanan uap 1,06 kg/cm2 dan suhu 121°C menggunakan NaOH 0,25% selama 0,5 jam dan H3PO4 0,25% selama 4 jam menghasilkan kecernaan bahan kering in vitro sebesar 34,6 dan 32,4%.
Pada pemrosesan dengan asam, ACHMAD (2001) melaporkan hasil pemrosesan bulu ayam dengan asam HCl 3% dan HCl 12% selama 3 hari menghasilkan kecernaan bahan kering in vitro masing-masing sebesar 20,3 dan 45,5%. Hasil yang lebih tinggi dilaporkan oleh PUASTUTI et al. (2004) bahwa pemrosesan bulu ayam menggunakan asam HCl 12% dengan lama hidrolisis 4 hari tanpa pemanasan dan tekanan mampu meningkatkan kecernaan bahan kering in vitro sebesar 59,83% dan kecernaan protein in sacco dalam rumen selama 24 jam sebesar 53,34%. Hasil ini merupakan kecernaan terbaik sebagai sumber protein bypass untuk ruminansia (PUASTUTI et al., 2004). Nilai kecernaan BK bulu ayam dapat ditingkatkan hingga 82,99% pada penggunaan HCl 24% dengan lama hidrolisis 6 hari, tetapi protein bulu ayam menjadi rusak. Kerusakan HBA tersebut ditunjukkan dengan perubahan warna dari putih menjadi coklat akibat terjadinya reaksi browning dan secara kimia ditunjukkan dengan tingginya kadar amonia yang dihasilkan (> 30 mM). Dari hasil penelitian tersebut tampak bahwa bahan kimia dan konsentrasinya serta lama waktu pemrosesan mempengaruhi kecernaan bahan kering bulu ayam.
Perbedaan waktu pemrosesan mengakibatkan perbedaan kecernaan pepsin dan tingkat kerusakan asam amino. ADERIBIGBE dan CHURCH (1983) melaporkan bahwa lama pemrosesan dengan uap selama 30, 60 dan 90 menit pada tekanan yang sama (1,05 kg/cm2) menghasilkan HBA dengan kecernaan protein oleh pepsin meningkat yakni berturut-turut 23,6; 33,9; 62,9% dari total protein. Sedangkan waktu pemrosesan 120 menit justru menghasilkan kecernaan pepsin yang lebih kecil yaitu 49,2%, karena lamanya waktu pemrosesan mengakibatkan terjadinya kerusakan asam amino lisin akibat dari reaksi kecoklatan (browning reaction).
Berdasarkan metode pemrosesan bulu ayam di atas ternyata masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. PAPADOPOULOS et al. (1985) menyatakan bahwa lama waktu pemanasan akan meningkatkan kecernaan oleh pepsin, tetapi diikuti oleh rusaknya asam amino yang tidak tahan panas terutama lisin dan histidin. Menurut STEINER et al. (1983) bahwa perlakuan alkali terhadap protein memungkinkan timbulnya faktor antinutrisi, karena terbentuknya lisinoalanin dan lanthionin selama proses hidrolisis protein oleh alkali. Senyawa-senyawa tersebut terikat saling silang sehingga menyebabkan lisin dan sistin tidak tersedia untuk ayam (hewan monogastrik), karena lisinoalanin resisten terhadap enzim proteolisis. Selain terjadinya kerusakan protein bulu yang dapat menurunkan nilai biologis HBA bagi ternak, dengan mempertimbangkan faktor biaya, metode pemrosesan bulu dengan pemanasan dan alkali menjadi tidak ekonomis. Sebaliknya, pemrosesan dengan asam (HCl 12%) tanpa pemanasan dan tekanan dapat menekan terjadinya kerusakan protein dan tentunya lebih ekonomis.
Pemrosesan bulu ayam secara biologis dengan bantuan mikroba telah dilakukan dengan Bacillus licheniformis (WILLIAMS et al., 1991; TARMIZI, 2001), Bacillus subtilis (ZERDANI et al., 2004), Chryseobacterium sp. (RIFFEL et al., 2003), Cuninghamella spp. (TARMIZI, 2001). Bacillus licheniformis dan Bacillus subtilis merupakan bakteri yang efisien dalam menghidrolisis bulu ayam (ZERDANI et al., 2004). Hidrolisis terjadi melalui proses proteolisis oleh enzim yang dihasilkan oleh Bacillus sp. dengan mendegradasi keratin dan protein lain dalam bulu ayam (HANSEN et al., 1993). Enzim keratinase yang dihasilkan dari Bacillus licheniformis strain PWD-1 mampu menghidrolisis semua protein termasuk kolagen, elastin dan keratin (WILLIAMS et al.,1991). Hasil analisis kecernaan terhadap protein bulu hasil pemrosesan dengan Bacillus licheniformis sebesar 54,20% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemrosesan 16,20% (TARMIZI, 2001).
Dipandang dari sudut keamanan, HBA hasil bermacam-macam pemrosesan diduga sudah terbebas dari mikroba yang merugikan, seperti bakteri Salmonella dan virus flu burung. Pemrosesan bulu ayam dilakukan melalui pemanasan dan tekanan serta kondisi asam, sehingga mikroba menjadi tidak aktif lagi bahkan mati. Bakteri Salmonella akan hidup baik pada suhu 8 – 45°C dan pH 4 – 8 (ANONYMOUS, 2007a). Suhu dan keasaman di luar kisaran tersebut menyebabkan bakteri tidak dapat hidup. Demikian pula HBA yang dihasilkan dari proses enzimatis dan mikrobiologis dapat dipastikan sudah terbebas dari mikroba yang merugikan. Sebelum penambahan enzim ataupun inokulasi mikroba, sebelumnya dilakukan sterilisasi bulu ayam untuk mencegah adanya kontaminasi.
Pemrosesan bulu ayam terutama dengan suhu tinggi (115,5 – 140,5°C) dapat mematikan bakteri, virus, protozoa dan parasit lain. Seperti Salmonella sangat erat dengan limbah unggas, tetapi setelah diproses pada suhu 54,4°C selama 1 jam atau 60°C selama 15 menit, maka Salmonella yang ada menjadi mati (FIRMAN dan ROBBINS, 2004). Demikian pula dengan virus flu burung (avian influenza) yang tengah merebak di masyarakat. Virus flu burung menjadi tidak aktif pada kondisi sebagai berikut: temperatur 56°C selama 3 jam atau 60°C selama 30 menit; pH asam; adanya desinfektan seperti formalin dan senyawa iodine; pada agen oksida seperti natrium dodesilsulfat, pelarut lemak dan β-propiolakton (PHS, 2002) serta dengan pemanasan minimal 70°C (ANONYMOUS, 2007b). Adapun menurut SPICKLER (2007) virus flu burung tidak aktif pada temperatur 56°C selama 60 menit, dengan radiasi ion dan pH rendah (pH 2). Selain menggunakan temperatur dan tekanan, metode pemrosesan bulu ayam dengan asam juga menjamin bahwa HBA aman dari virus flu burung. HBA yang diproses dengan HCl 12% menghasilkan nilai pH sebesar 2,5 (PUASTUTI et al., 2003), sehingga virus flu burung tidak dapat hidup.
Komposisi kimia hidrolisat bulu ayam (HBA) dan bungkil kedelai disajikan pada Tabel 1.

Sekian semoga bermanfaat.
Sumber: https://medpub.litbang.pertanian.go.id/index.php/wartazoa/article/download/880/889